program pemerintah yang selayaknya gratis belum
tentu sampai di daerah. Warga Lubuk Soting, Rohul harus membayar Rp3-4,5 juta
untuk mengurus prona yang diduga permainan Kades dan BPN. Rido Siregar, warga Desa Lubuk Soting, Kecamatan Tambusai
mengurungkan niatnya untuk mengurus sertifikat tanah miliknya melalui program
Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) melalui Badan Pertanahan (BPN)
Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Pasalnya, dirinya harus membayar biaya pengurusan
hingga Rp 3 juta.
Prona merupakan program Pemerintah Pusat dilakukan melalui Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ BPN. Tujuannya, memudahkan masyarakat mendapatkan sertifikat tanah gratis. Biaya penerbitan sertifikat disebut-sebut disubsidi oleh Pemerintah, baik biaya
Prona merupakan program Pemerintah Pusat dilakukan melalui Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ BPN. Tujuannya, memudahkan masyarakat mendapatkan sertifikat tanah gratis. Biaya penerbitan sertifikat disebut-sebut disubsidi oleh Pemerintah, baik biaya
Pria berusia 45 tahun ini memilih mengurungkan niatnya mengurus sertifikat tanah pada 2013 silam, karena dirinya tidak mampu membayar biaya pengurusan sebesar Rp 3 juta, seperti ditetapkan oleh Kades Lubuk Soting, Maraposo.
Bahkan, blanko untuk pengurusan Prona, diantar sendiri oleh Maraposo ke rumahnya. Namun, karena dirinya tak punya uang, tanah miliknya sekitar 1,5 hektar belum bersertifikat.
"Saya bukan menuntut, tapi masalah pembayaran yang saya memang tidak sanggup," kata Rido kepada riauterkini.com, Selasa (19/5/15).
Rido mengakui bahwa uang Rp 3 juta yang dipatokkan untuk pengurusan sertifikat tanah, tidak disebutkan oleh Kades Lubuk Soting untuk dana apa saja. Namun, Kades pernah mengatakan bagi warga yang mau membayar Rp4,5 juta, maka mereka baru mendapatkan blanko untuk diisi.
"Mau mengurus langsung (ke BPN Rohul) tambah tidak mampu saya. Sebab kata warga, kalau kita langsung mengurus makin mahal," ungkap dia.
"Sebagai warga tidak mampu, kalau memang ada bantuan, untuk selanjutnya kami lebih dimudahkan lah," harap Rido.
Berbeda lagi dengan dialami Sangkot Hasibuan. Tokoh Masyarakat sekaligus Tokoh Adat di Lubuk Soting, juga Anggota Lembaga Kerapatan Adat (LKA) Tambusai ini mengatakan dirinya mengurus sertifikat untuk atasnama anaknya.
Tokoh Adat bergelar Raja Adat Dusun Sosopan Kijang ini mengatakan awalnya dirinya menyetor uang Rp 4,5 juta untuk pengurusan sertifikat tanah. Namun, setelah sertifikat selesai, Maraposo mengembalikan uang Rp 1 juta kepada dirinya.
Uang sebesar Rp 3,5 juta yang telah dibayarkan kepada Kades Lubuk Soting, diakui Sangkot, juga tidak disebutkan untuk apa saja. Namun, karena anaknya perlu sertifikat tanah, mau tak mau, dirinya harus membayar biaya mahal.
"Seperti warga-warga lain, karena tidak uang tidak bisa mendapatkan sertifikatnya. Harapan saya kepada pemerintah, kalau memang program gratis, warga dikasih taulah. Karena belum pernah warga diajak bermusyawarah oleh Kades (Maraposo)," ungkap Sangkot.
Hal senada juga diakui Irwan Nasution. Warga Lubuk Soting ini harus membayar biaya hingga Rp 4,5 juta, untuk pengurusan sertifikat tanah tapak rumahnya.
"Sudah saya bayar (Rp 4,5 juta). Kalau tak dibayar tak mungkin sertifikat keluar," jelas Irwan.
Sayangnya, saat masalah itu akan ditanyakan kepada Kades Lubuk Soting, Maraposo, dirinya tidak bisa ditemui di Kantor Desa. Bahkan, saat dihubungi, nomor selulernya sedang tidak aktif.
Kepala BPN Rohul, Hendra Imron, saat dikonfirmasi riauterkini.com ke kantornya juga belum memberikan keterangan. Pejabat baru pengganti dari M. Syukur ini sengaja "menutup diri" di ruangannya, dan tidak ingin diganggu. Hal itu diakui Satpam Kantor BPN Rohul.
sumber :http://riauterkini.com/sosial.php?arr=92437&judul=%20Kades%20dan%20BPN%20Diduga
0 komentar:
Posting Komentar